Faedah ketiga, aku telah melihat beberapa orang bergegas mengumpulkan harta benda, tetapi orang tersebut menahan harta bendanya dan tidak mau membagikannya kepada yang membutuhkan. Lantas aku teringat dengan firman Allah :
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ ۗ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
Maa ‘indakum yanfudu, wa maa ‘inda Allahi baaqin, wa lanajziyanna alladzina shabaruu ajrahum bi ahsan maa kaanuu ya’malun.
Artinya: Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl ayat 96)
Maka aku (Hatim) telah menyerahkan apa yang aku hasilkan dari harta duniawi untuk keridoan Allah, dan aku telah bagikan apa yang aku hasilkan kepada orang-orang miskin agar menjadi simpanan pahala di sisi Allah.
Orang-orang yang tidak mau membagikan hartanya kepada fakir miskin, menurut Gus Yusuf tidak pernah berpikir apakah harta yang mereka miliki bakal mereka pegang selamanya apa tidak, kalau pemikiran orang banyak seperti Syeikh Hatim, maka akan sesuai dengan firman Allah.
Sesuatu yang manusia miliki itu bakal lenyap, sedangkan sesuatu yang diserahkan di jalan Allah itulah yang kekal. Ia menambahkan, orang yang pintar itu harta yang dimilikinya di dunia dicuci (dibagikan fakir miskin) agar bisa.menjadi tabungan besok di akhirat.
Gus Yusuf menceritakan teladan dari Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari yang dikagumi K.H. Chudlori (abah Gus Yusuf). K.H Chudlori yang menjadi salah satu santri Hadratussyeikh mengangumi salah satu sifat gurunya, yaitu sifat sakho’ (dermawan).
Gus Yusuf pernah dikisahkan abahnya yang mengatakan salah satu yang membuat K.H Chudlori senang yaitu ketika ngaji ramadlan di Tebu Ireng, Jombang, semua makanan santri Tebu Ireng dijamin oleh Hadratussyeikh, padahal waktu itu santrinya Hadratussyeikh mencapai dua ribuan santri.
Faedah keempat, Syeikh Hatim telah melihat ada sebagian orang yang menganggap kemulian dan keluhuran seseorang itu dilihat dari banyaknya pengikut dan kuatnya pengaruh orang tersebut di masyarakat.
Ada sebagian lagi yang menganggap kemulian dan keluhuran seseorang itu dilihat dari banyaknya harta dan anak keturunan yang sukses.
Ada sebagian orang yang menganggap kemulian dan keluhuran seseorang itu dilihat dari kesaktian dan kekuatannya merampok harta milik orang lain, menganiaya orang lain, bahkan berani membunuh orang.
Ada sekelompok lainnya lagi menganggap kemuliaan dan keluhuran seseorang adalah orang yang glamor dan bisa berfoya-foya. Lantas Syeikh Hatim teringat firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Inna akramakum ‘inda Allahi atqaakum, inna Allaha ‘alimun khabiirun
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat ayat 13).
Syeikh Hatim lebih memilih bahwa kemuliaan seseorang itu dilihat dari ketaqwaan seseorang kepada Allah, dan meyakini apa yang terkandung dalam Alquran adalah nyata dan benar, serta menganggap semua pemikiran orang-orang tentang kemulian di atas merupakan pemikiran yang bathil.
Gus Yusuf menggarisbawahi, parameter kemuliaan seorang adalah tingkat ketaqwaan sesorang di sisi Allah, jadi semakin orang itu tinggi ketaqwaannya, maka semakin tinggi pula kemuliaan orang tersebut di sisi Allah.
Faedah kelima, Syeikh Hatim telah melihat ada orang yang menjelekkan dan ghibah tentang kehidupan orang lain. Syeikh Hatim menemukan bahwa perkara yang membuat orang menjadi hasud (iri dengki) itu pada 3 hal, yaitu harta, pangkat, dan ilmu. Lantas Syeikh Hatim teringat dengan firman Allah.
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Nahnu qasamnaa bainahum ma’iisatahum fil hayatit dunya.
Artinya: Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. (Az-Zukhruf ayat 32).
Syeikh Hatim menyadari bahwa pembagian yang telah dibagikan Allah kepada makhluk-Nya merupakan suatu yang azali (bersifaf dahulu), maka Syeikh Hati tidak lagi iri dengki kepada siapapun, dan ridho atas apa yang Allah telah bagikan.
Faedah keenam, Syeikh Hatim telah melihat ada orang yang memusuhi orang lain dengan sebab seperti harta, pangkat, dan ilmu, dan ia menyadari bahwa tidak ada yang boleh dijadikan musuh kecuali setan. Lantas Syeikh Hatim teringat dengan firman Allah.
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
Inna as-Syaithana lakum aduwwun fattakhiduuhu aduwwan
Artinya: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu). (Fatir ayat 6).
Faedah ketujuh, Syeikh Hatim telah melihat beberapa orang yang sibuk mencari rezeki untuk makan sehari-hari dan untuk menyambung hidup, sehingga jatuh pada tindakan subhat dan haram, merendahkan dirinya sendiri, bahkan sampai mengurangi derajat dirinya sebagai manusia.
Syeikh Hatim lalu menyadari bahwa rizkinya sudah diatur dan ditanggung oleh Allah. Lantas Syeikh Hatim teringat firman Allah:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Wa maa min daabbatin fil ardli illa ‘ala Allahi rizquha.
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. (Hud ayat 6)