Hari kesembilan, Ngaji Ramadhan Kitab Ayyuhal Walad Imam Al-Ghazali, bersama KH Muhammad Yusuf Chudlori Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang.
Ketika ada seseorang yang mempunyai sifat sesuai dengan syarat dan ciri-ciri guru yang menjadi penerus para nabi akan terlihat nur cahaya (keistimewaan), maka sudah sepatutnya guru tersebut menjadi panutan.
Tetapi menemukan guru yang memenuhi syarat dan ciri-ciri seperti itu sangat langka, bahkan lebih langka dibanding belerang berwarna merah.
Jika menemukan guru dengan sifat dan ciri seperti itu, maka sudah sepatutnya dimuliakan secara lahir dan batin. Adapun memuliakan secara lahir itu dengan cara tidak mendebat dan tidak mencari argumen untuk selalu ditanyakan pada guru tersebut, meskipun kalian tahu guru tersebut mempunyai kesalahan, dan melakukan hal yang sudah diperintahkan guru.
Adapun memuliakan secara batin yaitu dengan cara mendengarkan dan menerima apa yang berasal dari guru, tidak mengingkari guru dalam hati, perkataan maupun perbuatan, agar kalian tidak tergolong orang munafik.
Apabila tidak sanggup memuliakan guru secara lahir dan batin, paling tidak berteman dengan orang yang mempunyai perilaku buruk, agar bisa terhindar dari godaan setan yang berupa jin dan setan yang berupa manusia, dan juga terhindar dari sifat-sifat buruk setan, serta mempunyai sifat kesabaran.
Gus Yusuf menceritakan hubungan guru dan murid yang tidak sepemikiran itu juga pernah dialami Nabi Musa ketika berguru kepada Nabi Khidir. Guru itu juga manusia terkadang salah terkadang guru juga menguji kesungguhan murid sampai di mana murid itu akan menuruti gurunya. Meskipun, kita sebagai murid juga tidak bisa semuanya melakukan apa yang diperintahkan guru.
Murid itu juga perlu melihat kemampuan dirinya dalam menjalankan perintah guru. Semisal kisah yang diceritakan Gus Yusuf, ada seorang santri yang menemukan masyaqqah (kesulitan) hidup karena baru saja menikah, lantas santri tersebut mengadu pada gurunya, gurunya bertanya kepada santrinya, apakah santrinya ingin kaya dan banyak uang?
Tentunya santri itu pun menjawab iya, lantas sang guru menyarankan supaya santrinya menikah lagi. Santri itu pun menikah kedua kalinya, namun kehidupannya malah bertambah susah, untuk kedua kalinya santri itu pun mengadu kepada sang guru, akhirnya sang guru menjawab “oh berarti dirimu memang diberi banyak masalah (bukan banyak uang)”.
Kisah di atas memberikan pelajaran bahwa apa yang dikatakan guru itu tidak semuanya langsung bisa kita lakukan, artinya diri kita juga harus bisa menimbang dan memikirkan apakah apa yang disampaikan sang guru sudah sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita atau tidak.
Tasawuf dan Sufi
Sering kita mendengar kata tasawuf dan sufi. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud tasawuf dan sufi? Dalam kiyab Ayyuhal Walad dijelaskan bahwa tasawuf itu terdiri dari dua pokok yaitu istiqomah (konsisten) dan tidak terlalu bergantung pada makhluk. Lantas siapakah yang disebut sufi? Sufi adalah orang yang istiqomah (konsisten) di jalan Allah, berakhlak mulia sesama manusia, dan mampu menyikapi kondisi secara bijaksan.
Istiqomah sendiri bermakna mengalahkan ego diri agar bisa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah, serta mampu menahan kepentingan pribadi dibanding kepentingan umum.
“Tasawuf itu bukan hanya berdiam tinggal di gua, masjid, atau mushalla. Tasawuf itu harus bermasyarakat, karena dari bermasyarakat akan terlihat apakah akhlak seseorang itu baik apa tidak”, kata Gus Yusuf.