Baity Jannaty

#16 Ngaji Gus Yusuf: Tiba-tiba Wanita Itu Kentut Di depan Syeikh Hatim

By Najih Suudi

April 30, 2021

Ramadhan 1442 H, Mnews.id menghadirkan transkip teks pengajian bersama Gus Yusuf (KH Muhammad Yusuf Chudlori Pengasuh Asrama Pendidikan Islam (API) Tegalrejo Magelang). Pengajian berlangsung online tiap hari melalui Gus Yusuf Channel mengkaji kitab Qomi’ al-Tughyan.

Cabang iman ke-69,  menutupi aurat atau cacat orang mukmin. Abu Ali ad-Daqqaq menceriterakan bahwa ada seorang wanita datang kepada Syeikh Hatim bin Alwan al-Asham, semoga Allah mensucikan rahasianya, untuk bertanya tentang sesuatu masalah. Wanita tersebut kentut di hadapan Syeikh Hatim, sehingga muka wanita tersebut menjadi pucat karena malu.

Melihat hal tersebut, Syeikh Hatim berkata kepada wanita tersebut: “Keraskanlah suaramu!” Dengan ucapan tersebut Syeikh Hatim memperlihatkan kepada wanita tersebut bahwa beliau tuli; sehingga wanita tersebut senang hatinya dan berpendapat bahwa Syeikh Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Itulah sebabnya Syeikh Hatim terkenal dengan nama al-Asham (orang yang tuli).

Syeikh Ibnul ‘Imad mengatakan bahwa menyebutkan kesalahan orang lain karena tujuan yang benar menurut syara’, yang tujuan tersebut tidak dapat terpenuhi kecuali dengan menyebutkan kesalahan tersebut adalah diperbolehkan dalam 15 (limabelas) hal.

Pertama, menunjukkan kepada ucapan yang benar. Misalnya Anda mendengar seseorang mengucapkan ucapan yang mungkar; maka seyogyanya Anda mengatakan kepadanya: “Anda telah berkata demikian dan demikian. Ucapan itu tidak sesuai; yang benar adalah demikian!”

Kedua, memberi nasihat kepada orang yang meminta petunjuk dalam persoalan nikah, menitipkan amanat, atau lainnya. Anda wajib memberitahukan kepadanya keadaan yang sebenarnya dari orang yang dinikahkan atau dititipi amanat,

Ketiga, Mengingatkan orang alim yang salah kepada pengikutnya. Misalnya, apabila ada seseorang bertanya kepada Anda tentang sesuatu masalah, kemudian ia mengatakan, “Kyai saya mengatakan demikian dan demikian.” Anda boleh mengatakan, “Kyai saudara salah!” Termasuk juga ucapan para pengarang kitab dalam kitab-kitab mereka: “Si Fulan berkata demikian. Beliau adalah salah!” dan lain sebagainya. Hal itu diperbolehkan jika dimaksudkan untuk menjelaskan kesalahannya agar tidak diikuti. Jika tidak demikian, maka hukumnya haram.

Keempat, Minta tolong untuk mengubah kemungkaran, seperti ucapan Anda kepada orang yang Anda harapkan kemampuannya untuk menghapus kemungkaran: “Si Fulan telah melakukan demikian, maka tolonglah saya untuk mencegahnya.” Hal ini diperbolehkan dengan syarat apabila maksudnya adalah untuk meminta bantuan guna melenyapkan kemungkaran. Jika tidak demikian maksudnya, hukumnya haram.

Kelima, Mengenal identitas seseorang, seperti ucapan Anda, “Fulan si juling, atau lainnya. Hal ini diperbolehkan apabila identitas si Fulan tidak dikenal kecuali dengan menyebut cacatnya, karena kebetulan orang yang bernama Fulan banyak. Jika identitas si Fulan dapat dikenal tanpa menyebutkan cacatnya, maka lebih utama tidak usah menyebutkan cacatnya. Kebolehan menyebutkan cacat si Fulan disyaratkan dengan maksud untuk mengenal. Jika maksudnya untuk mencela, hukumnya haram.

Keenam, menjaga kerusakan, seperti ucapan Anda kepada saksi yang tidak adil: “Orang ini tidak sah untuk menjadi saksi, karena ia telah melakukan demikian dan demikian.”

Ketujuh, meminta fatwa, seperti ucapan Anda kepada orang yang dimintai fatwa: “Ayahku, suamiku, atau saudaraku telah berbuat dhalim kepadaku. Bagaimanakah jalan keluar untuk menyelamatkan diri dari kedhaliman tersebut?” Jika dapat menggunakan kata sindiran lebih baik, misalnya: “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang dianiaya oleh bapaknya, suaminya, atau saudaranya?” Namun apabila menyebutkan dengan jelas, diperbolehkan dengan alasan ini, sebagaimana pendapat Imam al-Ghazali.

Kedelapan, Mencegah perbuatan fasik seseorang yang tidak menutupi perbuatan cacatnya, misal orang yang menceriterakan perbuatan zina dan dosa-dosa besar yang dilakukan. Anda boleh menuturkan perbuatan fasik yang dilakukan dan bukan perbuatan cacat lainnya, dengan syarat apabila Anda bermaksud agar orang yang Anda beritahu mau menyampaikan kepadanya, sehingga ia berhenti dari perbuatannya yang fasik. Kebolehan menuturkan cacat seseorang di sini adalah jika ia menceriterakan perbuatan fasik yang telah dilakukan dengan perasaan bangga.

Akan tetapi jika ia menceriterakan dengan perasaan menyesal dan taubat, maka haram menuturkannya karena sama dengan mengghibah. Jika orang yang menampak-kan perbuatan fasik adalah orang alim, maka haram mengghibahnya secara mutlak. Karena jika orang awam mendengar perbuatan fasik si alim tersebut, maka dosa-dosa besar tersebut bagi orang awam menjadi remeh, sehingga mereka berani melakukannya.

Kesembilan, memperingatkan seseorang dari kejahatan orang lain. Apabila Anda melihat seseorang yang ingin berkumpul (kerja sama) dengan orang yang mempunyai cacat, maka Anda boleh menyebutkan cacat tersebut kepada orang yang akan diajak kerja sama, jika sekiranya orang yang akan diajak kerja sama tidak dapat tercegah dari kejahatannya tanpa diberi tahu. Jika tidak dengan maksud demikian, maka penyebutan catat tersebut haram.

Kesepuluh, Menuturkan cacat orang yang menampakkan perbuatan bid’ah. Kesebelas, menuturkan cacat orang yang menyembunyikan perbuatan bid’ahnya. Keduabelas, menuturkan kesalahan lawan kepada hakim pada waktu ada dakwaan atau pertanyaan. Ketigabelas, menyebutkan cacat orang yang dhalim yang mengadukan kepada jaksa atau penguasa. Keempatbelas, Menuturkan cacat orang kafir yang memusuhi kaum muslimin. Orang kafir yang tidak memusuhi kaum muslimin tidak boleh dituturkan cacatnya. Kelimabelas, menuturkan cacat orang yang murtad, dalam arti bukan orang yang meninggalkan salat fardlu.

Imam Ahmad as-Suhaymi menceriterakan kisah Ibnu Arabi dalam kitab “Lubab at-Thalibin”. Ibnul Arabi berkata bahwa setiap orang Islam sepatutnya berkeyakinan bahwasanya kesalahan yang dilakukan oleh anak cucu Rasulullah saw tidak boleh dicela karena telah dimaafkan oleh Allah. Hal tersebut didasarkan atas kisah yang dialami Ibnu Arabi tentang keadaan anak cucu Rasulullah. Seorang yang tsiqah (tepercaya beritanya) menceriterakan kepada Ibnul Arabi di kota Makkah:

Saya membenci apa yang dilakukan oleh anak cucu Rasulullah saw terhadap orang-orang di kota Makkah.‛ Ketika tidur Ibnul Arabi melihat Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah berpaling darinya. Ibnu Arabi memberi salam kepada beliau dan bertanya tentang sebab beliau berpaling. Beliau bersabda, “Sungguh engkau telah mencela orang-orang yang mulia!” Ibnu Arabi bertanya: “Wahai Sayyidattina Fatimah, apakah tuan putri tidak melihat apa yang mereka lakukan terhadap orang-orang?” Beliau bersabda, “Bukankah mereka itu anak cucu saya?” Lalu Ibnul Arabi berkata kepada beliau: “Sejak sekarang aku bertaubat!” Kemudian Sayyidatina Fatimah menghadap kepadanya dan ia terbangun dari tidurnya.