Ramadhan 1442 H, Mnews.id menghadirkan transkip teks pengajian bersama Gus Yusuf (KH Muhammad Yusuf Chudlori Pengasuh Asrama Pendidikan Islam (API) Tegalrejo Magelang). Pengajian berlangsung online tiap hari melalui Gus Yusuf Channel mengkaji kitab Qomi’ al-Tughyan
Cabang iman kedelapanbelas, menyebarkan ilmu syariat. Rasullah pernah bersabda, “Syahid (orang yang mendengarkan perkataan nabi) wajib menyampaikan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah kepada orang yang ghaib (tidak tidak mendengarkan perkataan nabi). Hadist ini nerupakan perintah Nabi Muhammad kepada sahabatnya dan orang yang hidup setelah sahabat sampai Hari Kiamat.
Siapapun yang belajar mendalami satu bidang keilmuan, maka orang tersebut termasuk ahlu ilmi (pakar keilmuan). Sedangkan orang awam yang mengetahui syarat-syarat shalat (termasuk hal yang wajib diketahui seorang Muslim), maka ia diwajibkan memberitakan ke orang lain, jika dia tidak memberitahu maka ia termasuk mendapat dosa atas ketidaktahuan orang lain tersebut.
Setiap masjid atau perkampungan wajib mempunyai seorang faqih (orang yang paham ilmu fikih) yang mengajar dan memahamkan masyarakat di sekitarnya. Fakih ini juga fardlu kifayah mengajar dan memahamkan masyarakat di kampung yang lain, apabila di kampung sekitarnya tidak ada yang paham ilmu fikih, sampai ada di suatu kampung itu yang paham ilmu fikih, sehinnga orang selainnya tidak mendapat dosa atas ketiadaan satu kampung yang paham ilmu fikih.
Ahmad as-Suhaimi menukil keterangan Imam Ghazali, menjelaskan bahwa orang alim urusan akhirat itu mempunyai tiga tanda. Pertama, tidak mencari keuntungan duniawi dengan menggunakan ilmunya. Kedua, tidak hanya sibuk urusan ukhrawi untuk menyelamatkan diri sendiri. Ketiga, berpegang teguh pada perilaku dan ucapan shahibus syariat (Nabi Muhammad).
Sesungguhnya ketiadaan mencari keuntungan duniawi dengan menggunakan ilmu itu mempunyai lima ciri. Pertama, tidak ada pertentangan atau selaras antara apa yang dilakukan dengan apa yang diucapkan, jadi ia sebagai percontohan dalam melaksanakan hal yang dilarang dan meninggalkan hal yang dilarang. Kedua, sebisa mungkin tekun menerapkan kelilmuan yang dimiliki, menyukai ketaatan, menahan perdebatan dalam banyak hal keilmuan. Ketiga, menghindari makanan dan tempat tinggal, perabotan, dan pakaian yang mewah. Keempat, menjauhi pemimpin atau pejabat kecuali untuk kepentingan menasehati atau menghilangkan kedzaliman. Kelima, tidak ceroboh mengeluarkan fatwa karena harus memegang prinsip kehati-hatian.
Cabang iman kesembilan belas, mengagungkan dan memuliakan al-Qur’an. Di antara perllaku memuliakan al-Qur’an yaitu membacanya dalam kondisi bersuci (tidak mempunyai hadast), tidak memegan al-Qur’an kecuali kondisi suci, bersiwak atau menggosok gigi ketika akan membaca al-Qur’an, duduk tegak ketika membaca al-Qur’an, mengenakan pakaian yang bagus ketika membaca al-Qur’an, mengahadap kiblat, berhenti membaca ketika mengual, membaca dengan tempo pelan sekaligus tartil (sesuai makhraj dan tajwid), jangan membuka lembaran al-Qur’an ketika sudah selesai (sebaiknya ditutup), meletakkan al-Qur’an ditempa yang lebih tinggi dibanding kitab atau benda lainnya, tidak meletakkan al-Qur’an di atas tanah atau lantai, tidak membaca al-Qur’am di pasar, tempat keramaian atau tempat hiburan, tidak meletakkannya di tempat kotor atau najis. Orang yang membaca al-Qur’an diibaratkan orang yang sedang bermunajat kepada Allah.
Cabang iman keduapuluh, yaitu bersuci. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.