Jakarta Mnews.id – Peralihan pola konsumsi dari offline ke online telah mendorong perkembangan produk digital, termasuk produk keuangan yang semakin banyak diadopsi melalui teknologi digital, yang dikenal sebagai fintech. Salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan pesat adalah peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online. Meskipun begitu, perlindungan dari regulator atau pemerintah di sektor P2P lending masih dipandang belum optimal.
Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menjelaskan bahwa fintech P2P lending mengalami peningkatan tahunan pengguna sebesar 59% selama periode 2020-2023, dibandingkan dengan pertumbuhan kartu kredit yang hanya 0,5%. “Masyarakat yang tidak terjangkau layanan perbankan atau yang kurang dilayani lebih memilih pembiayaan digital alternatif seperti fintech P2P lending,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Nailul mengungkapkan bahwa fintech lending memiliki pola bisnis pasar dua sisi, yaitu pasar yang memiliki dua jenis konsumen. Konsumen pertama dalam fintech P2P lending disebut sebagai borrower atau penerima dana. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.10/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), borrower adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang menerima pendanaan.
Nailul juga menekankan peran penting Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau yang disingkat dengan AFPI dalam membantu meningkatkan perlindungan bagi semua pihak yang terlibat dalam ekosistem fintech P2P lending.
Sedangkan konsumen lainnya adalah pemberi dana atau lender, yaitu orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang memberikan pendanaan. Fungsi dari platform fintech P2P lending adalah mempertemukan lender dengan borrower. “Perubahan perilaku di satu konsumen dapat mempengaruhi konsumen lainnya, termasuk dalam hal perlindungan. Maka, penting bagi regulator untuk memberikan perlindungan baik bagi borrower maupun lender,” katanya.
Dalam peraturan POJK terbaru, perlindungan masih lebih banyak diberikan kepada borrower, di mana pasal 100 POJK No.10/2022 menitikberatkan pada sisi data, transparansi, hingga penanganan penagihan yang dikhususkan untuk borrower. Padahal, lender sebagai pemberi pendanaan juga memerlukan perlindungan.
Dalam sistem pasar dua sisi, kegagalan bayar di sisi borrower menyebabkan kerugian bagi lender. Uang yang diberikan ke borrower bukan berasal dari platform, melainkan dari lender. Jadi, platform hanya berfungsi sebagai perantara, bukan sebagai lembaga penyalur pembiayaan bagi borrower. “Menariknya, banyak kasus yang terjadi akhir-akhir ini melibatkan borrower tanpa memperhatikan perlindungan untuk lender. Lender masih dianggap sebagai pihak yang tidak dirugikan dalam berbagai kasus di fintech P2P lending,” ujar Nailul.
Sering kali masyarakat masih belum memahami mengenai investasi di fintech P2P lending. Nailul menjelaskan bahwa ketika ada investasi, risiko potensial yang harus dihadapi lender perlu diketahui. Risiko investasi ini harus dipahami oleh lender sebagai bagian dari kegiatan investasi mereka di fintech P2P lending. “Regulator juga harus menyiapkan regulasi mitigasi risiko ketika terjadi gagal bayar hingga penipuan,” tambah Nailul.
Salah Satu Alternatif
Salah satu alternatif untuk meningkatkan keamanan investasi dalam fintech P2P lending adalah asuransi bagi dana yang diberikan oleh lender kepada borrower. Asuransi ini bertujuan melindungi lender dari risiko gagal bayar oleh borrower, sehingga lender merasa lebih aman dalam menginvestasikan uangnya melalui platform fintech P2P lending. Dengan adanya asuransi, lender akan memiliki jaminan bahwa dana yang mereka pinjamkan akan tetap aman meskipun borrower mengalami kesulitan dalam pengembalian.
Namun demikian, Nailul menekankan bahwa solusi ini juga memiliki risiko, terutama risiko moral hazard dari borrower. Borrower yang mengetahui bahwa dana telah diasuransikan mungkin merasa tidak perlu bertanggung jawab penuh atas pengembalian dana tersebut. Mereka bisa saja menganggap bahwa kewajiban pengembalian berada pada pihak asuransi, bukan pada mereka.
Akibatnya, perilaku ini dapat menyebabkan peningkatan risiko gagal bayar yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai tingkat wanprestasi/gagal bayar (TWP) 90 hari. “Ketika borrower tidak merasa memiliki tanggung jawab penuh, mereka mungkin kurang termotivasi untuk memenuhi kewajiban pembayaran tepat waktu,” ujarnya.
Nailul menjelaskan bahwa potensi ini akan semakin besar ketika proses credit scoring belum dapat menggambarkan kualitas peminjam secara penuh. Terlebih lagi, tidak ada agunan yang diberikan oleh borrower ke fintech P2P lending, sehingga meningkatkan potensi moral hazard. Borrower tidak memberikan aset yang bisa dijadikan jaminan, sehingga tidak ada tekanan tambahan bagi mereka untuk mengembalikan pinjaman. “Hal ini membuat asuransi harus berhati-hati dalam menyusun kebijakan dan mengelola risiko agar tidak terjebak dalam kerugian besar akibat meningkatnya tingkat gagal bayar,” katanya.
Langkah mitigasi dilakukan sejak awal transaksi di fintech P2P lending, baik dari sisi borrower maupun lender. Dari sisi borrower, validasi credit scoring harus diperketat. Integrasi innovative credit scoring (ICS) yang digunakan oleh fintech P2P lending dengan data sistem layanan informasi keuangan (SLIK) harus dilakukan sebagai filter awal untuk menyaring borrower yang buruk sejak awal.
Kemudian, asuransi dapat menjadi opsi tambahan yang diberikan kepada borrower (terutama untuk kredit produktif) guna meningkatkan nilai credit scoring mereka. “Informasi mengenai kepesertaan asuransi ditampilkan ketika lender ingin memberikan dana ke borrower,” ujar Nailul.
Dari sisi lender, informasi mengenai risiko investasi harus dijelaskan sejak awal memulai investasi. Risiko investasi ini harus diiringi dengan penilaian dari sisi lender terkait profil risiko mereka, sama seperti yang dilakukan dalam penilaian profil risiko investasi di fintech wealth management.
“Dengan demikian, platform juga dapat memberikan rekomendasi borrower yang tepat bagi lender sesuai dengan profil risikonya. Pemahaman mengenai investasi lender juga harus mencakup dampak yang akan diberikan oleh lender kepada borrower dan dunia usaha secara umum,” pungkas Nailul.adv