Hari kesebelas Ngaji Ramadhan Kitab Ayyuhal Walad Imam Al-Ghazali, bersama KH Muhammad Yusuf Chudlori Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang.
Hari ini terjadi banjir informasi, melalui perangkat handphone semua bisa mengakses dan menyerap informasi apa saja, ini sedikit banyak memberikan dampak kepada manusia untuk saling berdebat dan betukar pemikiran secara bebas bahkan hingga sering terjadi perang tagar.
Di media sosial, kita bisa menemukan banyak ceramah, kajian, pengajian, begitu juga bantahan dan kritik terhadap ceramah, kajian, dan pengajian yang ada.
Bagaimana agama Islam mengajarkan akhlak dalam membangun kritik dan perdebatan? Memecah situasi panas yang sering terjadi di media sosial, debat kusir yang sebenarnya miskin ilmu tidak ada makna atau hikmah dibalik perdebatan itu.
Gus Yusuf menganjurkan sebisa mungkin kita menghindari perdebatan, kalaupun ingin melakukan kritik dan debat sebaiknya dilakukan secara tertutup, karena perdebatan banyak mendatangkan kemadlaratan dibanding kemanfaatan, dan juga bisa mendatangkan sifat buruk seperti riya’, sombong, iri, dengki, permusuhan, dan lainnya.
Gus Yusuf
“Kita boleh berdebat jika bertujuan untuk memperlihatkan perkara haq (kebenaran), apabila ada kebathilan, orang bodoh berbicara seenaknya sendiri, sementara kalian punya kapasitas keilmuan, maka wajib kalian berbicara (mengkritik dan mendebat),”
Fenomena ustadz atau da’i menafsirkan Alqur’an dengan serampangan beberapa kali kita temui. Tafsir yang serampangan ini wajib kita lawan untuk memperlihatkan mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah).
Namun, etika kritik dan debat yang dilakukan juga harus baik dan dalam kerangka keilmuan dan ukhwah (persaudaraan).
Gus Yusuf menyampaikan bahwa harus ada 2 syarat ketika mengkritik, atau mendebat; pertama, tidak didasari kepentingan dan ego pribadi, kedua, diskusi atau perdebatan dilakukan di tempat-tempat tertutup.
Ulama sebagai Dokter Hati
Apabila ada pertanyaan atau sesuatu yang belum diketahui, maka jawaban atas masalah merupakan obatnya. Sama halnya dengan badan, dalam agama juga ada yang namanya penyakit, yaitu penyakit hati yang bisa merusak pondasi keagamaan seseorang. Penyakit ini hanya bisa disembuhkan oleh ulama’ yang diibaratkan sebagai dokter.
Namun tidak semua orang alim bisa menyembuhkan penyakit hati, orang alim yang kurang pengetahuan agamanya tidak bisa menyembuhkan penyakit hati, hanya orang alim yang pengetahuan agamanya luas yang bisa menyembuhkan penyakit hati, itu pun apabila orang yang mengidap penyakit hati mau berobat dan mau disembuhkan.
Gus Yusuf memberikan perumpamaan, ada dokter khusus gigi (orang alim kurang pengetahuan), tetapi orang yang datang berpenyakit jantung, patah tulang, paru-paru, maka si dokter gigi ini pun pasti akan memberikan obat-obat sakit gigi yang bukannya menyembuhkan malah bisa jadi memperparah.
Penyakit orang bodoh itu bermacam-macam di antaranya, orang yang pertanyaannya didasarkan pada iri dengki dan kemarahan, semua jawaban dan penjelasan yang diberikan untuk menjawab pertanyaannya tidak ada efeknya sama sekali.
Cara menangani orang seperti ini yaitu dengan membiarkannya, tidak perlu diladeni, karena seperti sabda Rasulullah bahwa hasud (iri dengki) itu seperti api yang melalap kayu.
Ada juga orang yang punya penyakit bebal, orang seperti ini juga susah disembuhkan seperti apa yang dikatakan Nabi Isa,
“aku diberikan mukjizat bisa menghidupkan orang mati, tetapi aku tidak diberikan mukjizat agar bisa menyembuhkan orang bebal,”
Termasuk juga orang bebal adalah orang yang belajar agama sedikit, tetapi banyak bertanya dan menentang pernyataan ulama’ besar.
Orang seperti ini juga dibiarkan saja, tidak perlu diladeni. Ada kalanya orang yang meminta petunjuk, tetapi tidak bisa memahami atau mencerna jawaban yang disampaikan kepadanya, dan memang pertanyaan yang diajukan itu bisa memberikan manfaat.
Perlakuan untuk orang yang seperti ini memang harus dinasehati secara perlahan, seperti sabda Rasulullah,
“Kami para nabi diutus menyampaikan wahyu kepada manusia sesuai dengan kadar pemikirannya”.
Dan yang terakhir, orang yang meminta petunjuk itu cerdas dan mempunya logika pemahaman yang baik. Orang seperti inilah yang memang pertanyaannya wajib dijawab, karena dirinya jauh dari iri dengki, kemarahan, dan juga memang tujuannya untuk mencari jalan kebenaran (sirathal mustaqim).