Magelang memiliki sejarah mendalam dan penting dalam perjalanan Pangeran Diponegoro (1785-1855) dalam berjuang melawan penjajahan Belanda.
Perang Diponegoro atau disebut juga Perang Jawa (1825-1830) membuat kerepotan Belanda. Dalam sejarah diceritakan taktik perang gerilnya, perang fisik dan mata-mata, membuat penjajah pontang-panting dan mengerahkan 23 ribu tentara di Kawasan Perang Yogyakarta-Kedu.
Nama Magelang tercatat dalam sejarah ketika 28 Maret 1830 Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock untuk melakukan perundingan bertempat di Gedung eks-Karesidenan Kedu.
De Kock memaksa dan mendesak Pangeran Diponegoro dalam perundingan itu, yang intinya Perang Jawa harus dihentikan tidak ada tawaran lain. Permintaan itu ditolak oleh Putra dari Sultan Hamengkubuwono III, Raja Kesultanan Yogyakarta, dari istri selir R A Mangkarawati.
Pangeran Diponegoro bukan hanya jendral Perang Jawa tapi seorang ulama tasawuf pemimpin umat Islam penuh kharisma di wilayah Yogyakarta dan Kedu. Kursi yang diduduki Pangeran Diponegoro saat perundingan dengan Belanda hingga kini ada dan menjadi saksi bisu di Museum Diponegoro (Gedung eks-Karesidenan Kedu).
Kursi tempat Diponegoro duduk sandaran tangannya terlihat cekung membekas. Konon ceritanya kemarahan Pangeran Diponegoro saat perundingan bukan diluapkan dengan kemarahan terlihat gesturnya, tapi kemarahan mendalam yang diungkapkan seorang ulama dengan meremat sandaran tangan.
Begitu santun dan alimnya Pangeran Diponegoro waktu itu terlihat bekasnya hingga sekarang. Dan ini memberi hikmah sejarah yang mendalam tentang akhlak masyarakat Jawa. Dari perundingan di Magelang inilah Pangeran Diponegoro di tangkap dan asingkan ke Sulawesi. Dari perjalanan di bawa ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pernah menyelenggarakan Haul Nasional Pangeran Diponegoro pada 8 Januari 1955 atau setelah 100 wafatnya. Sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.
Nah penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.
Dalam tiga tahun terakhir ini Kota Magelang turut memberikan apresiasi dan mengingat kesejarahan Pangeran Diponegoro dengan menggelar Haul. Dalam haul bukan sekedar menggelar ritual acara tapi jauh lebih itu ada hikmah dan tafakkur (refleksi) atas nilai-nilai yang ditinggalkan seorang ulama kharismatik di tanah Jawa ini.
Gedung Karesidenan Kedu memiliki nilai sejarah yang tak bisa ditemukan tempat lain, mencatat Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro dalam daftar orang yang diakui oleh dunia. Kini menjadi sebuah Museum Diponegoro dan sah-sah saja Pemerintah memonetisasi tempat itu. Dari mulai tiket masuk museum hingga persewaan lokasi untuk kepentingan berbagai acara.
Nah uniknya itu di sini, Ketika Haul Pangeran Diponegoro 2020 kemarin justru bukan ditempatkan di poros central di Bangunan Utama yang memiliki nilai sejarah. Tapi di gelar di Museum Badan Pemriksa Keuangan (BPK). Ini sangat menggelitik, berbagai acara bisa masuk ke Museum Diponegoro asal bisa membayar, lha ini acara Haul Pangeran Diponegoro yang justru disisihkan di Museum BPK.
Memang masih satu kompleks dengan Museum Diponegoro, tapi nilai-niali spirit Diponegoro terputus ketika Haul Diponegoro tidak diselenggarakan di Gedung Utama Museum Diponegoro.
Ki Roni Sodewo keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro angkat bicara soal masalah itu. Dia mengaku kecewa karena Haul Ke 3 Sang Pangeran tidak digelar di Pendapa eks Karesidenan Kedu yang menjadi saksi bisu ditangkapnya Pahlawan Nasional itu oleh Belanda.
Ki Roni pun berharap gelaran tahun depan kalau diadakan lagi sebaiknya di Pendopo Utama Museum Diponegoro.
‘’Saya sangat menyayangkan tempatnya tidak di Pendapa, karena di situlah Pangeran Diponegoro ditangkap dengan licik oleh Belanda, sampai akhirnya beliau meninggal dunia di bawah cengkeraman penjajah,’’katanya.
Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Adi) itu juga mengkritik Pemprov Jawa Tengah selaku pengelola karesidenan yang terlalu terpaku pada pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini mengingat, penggunaan pendapa tersebut dikenai biaya sewa dengan nominal jutaan rupiah.
‘’Saya paham pengelola harus memenuhi PAD dari penyewaan pendapa. Termasuk juga PAD terkait Museum Diponegoro. Kalau untuk acara pernikahan sudah pasti dibolehkan, karena menghasilkan PAD,’’ tuturnya.
Dia juga menyayangkan Museum Diponegoro kurang maksimal untuk pendidikan kesejarahan. Contohnya museum tersebut tutup di hari Minggu. Padahal, anak-anak sekolah liburnya hari Minggu dan ingin liburan ke Museum Diponegoro.
‘’Kalau anak-anak ingin ke museum hari Minggu pasti tidak bisa dilayani, karena museum libur. Bahkan, yang sering terjadi justru untuk kegiatan resepsi pernikahan. Ini yang menjadi kegelisahan saya, bagaimana anak-anak memiliki waktu banyak untuk belajar sejarah di museum,’’ ujarnya.
Menanggapi itu Ketua Umum Haul Diponegoro, Tugino mengaku, panitia sudah berusaha agar haul dapat dilaksanakan di Pendapa eks Karesidenan Kedu, tempat Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. Hanya saja saat pengajuan ke Gubernur Jawa Tengah tidak ada jawaban.
‘’Kami sudah ajukan ke Gubernur Jateng, tapi tidak ada jawaban. Padahal waktunya sudah mepet. Akhirnya terfasilitasi di halaman Museum BPK RI yang tidak jauh dari Pendapa Karesidenan,’’ terangnya sambil membenarkan memang dari pengelola minta ada kontribusi biaya sewa.
Camat Magelang Tengah itu menuturkan, tidak masalah pelaksanaan di halaman Museum BPK. Dia juga mengapresiasi masyarakat antusias mengikuti jalannya haul yang diisi beberapa acara hingga ditutup tauziah KH Yakub Mubarok dari Parakan Temanggung.
‘’Pelaksanaan sudah berlalu, ya sudahlah tidak perlu jadi polemik. Jadi pembelajaran dan pengalaman kita saja, semoga ke depan bisa lebih baik lagi,’’ tuturnya.
Belajar dari dinamika penyelenggaraan Haul Diponegoro, antara Pemerintah Provinsi sebagai pengelola Museum Diponegoro dan Pemkot Magelang perlu menyatukan visi pada penyelenggaraan mendatang.
Ketika Dunia mengakui Pangeran Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World) , mengapa kita sendiri justru mengabaikan hal teknis yang mengakibatkan kurang khidmanya Haul Diponegoro karena tidak diselenggarakan di Museum Diponegoro.
Belajar dari ini semua perlu berbenah, dari Haul itu banyak hikmah yang bisa diserap generasi sekarang untuk mengambil spirit kepahlawanan Pangeran Diponegoro. Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Soekarno mengingatkan kita tentang pentingnya sejarah.
Jas Merah = Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah Quotes Bung Karno
Semoga haul Pangeran Diponegoro 2021 lebih khidmad dan semakin sempurna pelaksanannya. Ini bukan sekedar menggelar sebuah acara tapi di dalamnya ada sebuah tradisi dan hikmah besar dari perjalanan seorang Ulama Kharismatik Jawa Pengeran Diponegoro