Oleh : Muhammad Novan Leany *
Mulai pandemi Covid-19 menyerang di Indonesia, banyak aktivitas terpaksa dihentikan termasuk proses pembelajaran. Problematika pendidikan di Indonesia seperti di ujung tanduk, ditambah lagi permasalahan yang muncul dari beberapa pendidik yang tidak terekspos seperti kurang faham teknologi hingga kurangnya pengembangan keterampilan peserta didik. Surat edaran Kemendikbud no.4 tahun 2020, memaparkan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ke dalam empat poin tertentu, salah satunya memberikan keluasan untuk memperkaya wawasan dengan mengeksplorasi sumber belajar dan melakukan improvisasi gaya belajar yang peserta didik sukai Akan tetapi, banyak hasil riset yang menemukan bahwa keterlaksanaan belajar daring selama lebih satu semester memberikan dampak-dampak negatif bagi psikologis peserta didik yang berniat serius untuk belajar.
Sepanjang yang peserta didik kebanyakan tahu, belajar daring adalah sebuah kesempatan, seperti tidak bertemunya tatap muka dalam proses pembelajaran yang, sayangnya, justru seperti dijadikan bahan cari gelar atau kesempatan belajar sembari bekerja, atau bahkan sebagai tuntutan nilai belaka, bukan proses penggalian keilmuan secara mendalam. Mengingat perkataan Muhibbin Syah, M.Ed dalam bukunya Psikologi Pendidikan kejenuhan belajar peserta didik terjadi apabila motivasi dan keterampilan tidak sampai pada tujuan yang dibutuhkan. Tanpa disadari, bahwa pembelajaran daring sendiri dapat membuat siklus baru, yang mau tidak mau harus diikuti jejaknya apalagi, ketika beberapa lembaga pendidikan yang belum teredukasi secara penuh belum mampu mengikut siklus tersebut.
Pendidikan kita sangat perlu menghidupkan jati dirinya kembali, terutama perihal proses belajar yang benar-benar berubah secara drastis. Pembelajaran daring tidak bisa dipandang sebagai permata, sebab bisa saja jadi malapetaka. Saya kira, nilai-nilai lembaga pendidikan sebagai laboratorium perlu disematkan kembali ke kepala-kepala cendikiawan muda. Mengutip dari teori falsafah pendidikan kita yang disematkan bahwa pendidikan merupakan penggalian pengetahuan, pengalaman, kecapakan bahkan keterampilan sebagai cara memenuhi fungsi kehidupannya. Dalam aspek tersebut, dari sisi pengalaman merupakan pertanyaan yang besar. Apakah susah jaringan, kurangnya emosional antar pendidik dan peserta didik, interaksi yang beku, dan model belajar yang kaku, bisa dijadikan sebagai bentuk pengalaman? Atau bahkan keterampilan?
Memang siapa yang mau kuliah daring? Pertanyaan terus timbul dari praktisi yang anti kritik. Perlu kita ketahui, dari artikel yang berjudul Evaluasi Pelaksanaan Pembelajaran Daring di Indonesia Selama Pandemi Covid 19 ditulis oleh Jumardi Budiman dalam paparannya berkata bahwa selain kendala-kendala teknis yang mengorbankan peserta didik, pelayanan yang begitu kurang juga dirasakan pendidik dalam rintangan selama proses pembelajaran. Jika kita pandangan secara terbuka, kebanyakan pendidik sering menggunakan model-model pembelajaran konvensional seperti ceramah, diskusi kelompok, juga tugas-tugas formalitas, hal ini menyebabkan mekanisme secara daring membuat kurangnya kepuasan dalam proses belajar mengajar.
Beban belajar pula, tentu akan terus ada di ranah peserta didik, mulai dari usia dini hingga jenjang pendidikan tinggi, apalagi dengan ekonomi yang menengah ke bawah, sebab tidak semua peserta didik mempunyai laptop, gedget, juga elektronik lainnya terutama untuk sekolah-sekolah yang berada daerah pelosok desa. Tentu, jika kita bersifat apatis, semua yang terjadi akan dirasa baik-baik saja.
Kebaharuan Evaluasi Pembelajaran
Pola-pola belajar yang berubah secara drastis sangat perlu evaluasi yang diperbarui pula terutama, masih ada lembaga pendidikan yang masih memakai bahan evaluasi lama. Kebanyakan evaluasi pembelajaran sendiri sering berfokus pada pola belajar klasikal daripada daring. Livana dalam penelitiannya yang berjudul Penyebab Stress Mahasiswa Selama Pandemic Covid 19 di Indonesia sendiri, pembelajaran daring selama pandemi justru membuat peserta didik tingkat mahasiswa begitu tertekan, sebanyak 1.129 peserta didik terutama dari daerah provinsi di Indonesia menemukan bahwa tugas-tugas pembelajaran, hingga cara mengajar dosen yang sangat membosankan dan kaku adalah sumber stress utama peserta didik selama pandemi covid 19. Selain perihal tersebut, adanya tuntutan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang tajam dengan waktu sangat terbatas sebab, aspek lingkungan belajar termasuk emosional kawan sebaya juga tidak mendukung.
Produksi Lulusan Daring dan Sebuah Pengabdian?
Apapun yang dilakukan seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri juga bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya.
Serpihan mutiara yang disampaikan Ki Hajar Dewantara begitu menyadarkan kita, bahwa pentingnya pendidikan untuk mengabdi di sebuah bangsa. Perlu kesadaran penuh kepada pendidik dan peserta didik untuk mengarahkan pendidikan kita kearah yang lebih efektif dan efesien. Terbukti, sudah banyak sekolah-sekolah dengan visi dan misi kurikulum alternative guna melepas sistem-sistem pola belajar yang dianggap kaku oleh sebagian cendikiawan.
Pertanyaan besar juga terus nampak, apakah produksi lulusan daring dapat dijadikan landasan lulusan peserta didik yang dapat diterima masyarakat sebagai bentuk pengabdiannya? Sementara, ada beberapa aspek dari proses belajar yang saya kira, tanpa sengaja tidak tersentuh terutama sulitnya mengeksplorasi keilmuan di lapangan karena terkendala banyak hal selama pandemi covid 19. Mungkin, beberapa lembaga pendidikan menganggap situasi seperti ini biasa saja, sebab biaya SPP peserta didik yang menengah ke atas dapat memumpuni fasilitas belajar daring. Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi adalah mimpi buruk bagi masing-masing lembaga pendidikan, jika tidak bisa menghasilkan kuantitas produksi-produksi peserta didik yang kualitasnya masih diragukan. Meminjam sedikit pandangan John Dewey bahwa pendidikan merupakan sebuah kebermanfaatan masyarakat. Dapat disimpulkan walaupun samar, tentang kurangnya pemerataan pendidikan kita dalam efektivitas belajar yang lebih baik, sehingga produksi kelulusan peserta didik yang terus berjalan seiring waktu dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kembali,yaitu apakah bisa menjadi tombak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau masih dalam tanda tanya.
*Muhammad Novan Leany asal Samarinda, Kalimantan Timur. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina” pada tahun 2019. Penulis juga salah satu penyair yang puisi-puisinya pernah tayang di berbagai media massa, antara lain Koran Tempo, Mata Puisi, Koran Sumbar, Buruan.co dan Beritabaru.co. Tahun 2021 kemarin, puisinya berjudul Datuk Tunggang Parangan dinobatkan sebagai juara 2 Nasional oleh Acep Iwan Siadi, antropolog dan pakar semiotika ITB Bandung. Sekarang melanjutkan studi S2 untuk mengambil gelar Master Of Arts dengan konsentrasi Psikologi Pendidikan Islamdi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.