Sore senja hari itu, amfiteater terbuka di Kampung Seni Borobudur seolah menjadi ruang perlintasan antara dunia fana dan jagat dewata. Lantunan musik—yang memadukan harmoni diatonis dan pentatonis—mengalun lembut sekaligus bergemuruh, menyelimuti panggung oval dengan gema spiritual yang menembus batas waktu.
Di bawah langit senja yang meredup pelan, para penari putri memasuki panggung. Mereka menyebar perlahan, membentuk konfigurasi gerak yang bak anyaman cahaya dan bayang. Kain panjang yang mereka kembangkan menjadi metafora kegelapan duniawi—berkibar, merunduk, lalu menjulang—seperti perjalanan batin manusia yang terombang-ambing oleh godaan dan ketidaktahuan.
Tidak lama kemudian, suasana berubah hening. Dari sisi panggung, sosok-sosok spiritual melangkah masuk, tenang bagaikan para biksu yang tengah membacakan parita. Langkah pradaksina mereka mengalir pelan, menjadi penanda bahwa ruang pertunjukan tengah berubah menjadi mandala suci. Gerak maknawi dan mudra yang mereka tampilkan seolah membuka jalan menuju pengampunan, memohon restu Sang Penguasa Semesta agar manusia kembali ke jalan kebajikan.
Adegan-adegan pembuka ini menjadi gerbang bagi pagelaran tari kolosal Badracari Mahadewa, karya dramatari yang digarap oleh koreografer Lukman Fauzi, Produser Eksekutif dan Naskah Narasi Sholahuddin al-Ahmed, dengan tata musik Rangga Purnama Aji, serta desain busana oleh Eko Teguh. Digarap oleh tujuh sanggar dari Borobudur dan sekitarnya—yang menyebut diri mereka Keluarga Besar Badracari—karya ini menjadi persembahan budaya yang lahir dari rahim tradisi, spiritualitas, dan kecintaan pada Candi Borobudur.
Kisah dari Relief Gandavyuha: Ketika Sudhana Menembus Ruang dan Waktu
Inspirasi pementasan ini bersumber dari relief Gandavyuha—panel 460 yang memuat perjalanan agung Sudhana, seorang penempuh jalan kebijaksanaan yang belajar dari para mitra kebajikan. Ia menjelajah ruang dan waktu untuk memahami makna kehidupan, namun justru pertama-tama bersua dengan dunia yang dikuasai kegelapan.
Di sinilah Mahadewa turun—sebuah figur cahaya yang memimpin pertempuran melawan naga-naga berpengaruh jahat. Adegan ini divisualisasikan dengan benturan energi, gerak megah, dan komposisi ritmis yang membuat penonton seakan terseret masuk ke pusaran kosmik. Menariknya, naga-naga yang dikalahkan tidak dimusnahkan, melainkan menjadi pendamping Mahadewa, simbol bahwa kekuatan gelap pun dapat ditransformasi menjadi cahaya.
Pada puncak pertunjukan, Sudhana akhirnya bertemu Mahadewa. Adegan perjumpaan itu ditata dengan lirih sekaligus sakral: dua tokoh berdiri dalam lingkaran cahaya senja, menggambarkan momen ketika manusia menerima sabda kebajikan sebagai penunjuk jalan menuju dunia yang lebih jernih, lebih luhur.
Catatan Artistik: Ruang yang Indah, Detail yang Perlu Diasah
Sebagai karya seni pertunjukan, Badracari Mahadewa tampil memikat dan monumental. Namun sejumlah elemen artistik masih menyimpan ruang penyempurnaan—khas sebuah karya yang terus tumbuh.
Pada aspek kostum, beberapa adegan—terutama Balakala—menggunakan elemen tari rakyat yang cenderung membatasi fleksibilitas gerak. Kostum yang lebih ringan dan selaras karakter gerak akan memungkinkan eksplorasi tubuh penari menjadi lebih bebas dan maksimal.
Dari sisi koreografi, beberapa gerak tokoh spiritual masih terasa terpotong, belum selembut aliran air sebagaimana yang dituntut oleh kemurnian laku batin. Begitu pula Mahadewa—yang perbendaharaan geraknya banyak mengambil motif tari Jawa—kadang tampil terlalu menyerupai tokoh antagonis seperti Rahwana. Integrasi referensi gerak dari Natya Sastra dapat memperkaya karakter Mahadewa sebagai figur kedewataan tertinggi.
Pada unsur properti, pembiasaan membawa properti sejak proses eksplorasi hingga latihan akhir masih perlu ditingkatkan. Sebab sebagian penari tampak kurang stabil ketika memegang properti berat, sehingga memengaruhi kualitas visual dan ritme gerak.
Dari Borobudur Untuk Dunia: Harapan, Revitalisasi, dan Spirit Pencerahan
Meski demikian, pementasan kolosal ini telah membuktikan satu hal: seniman Borobudur terus menyalakan api kreativitas. Mereka menghadirkan karya nyata yang menerjemahkan relief dan ajaran Buddha dalam bentuk pertunjukan yang hidup, megah, dan berdimensi spiritual.
Dukungan dari pemerintah, komunitas seni, dan pemangku kepentingan menjadi sangat vital. Tanpa ruang berekspresi yang memadai, karya-karya seperti Badracari Mahadewa akan sulit tumbuh, padahal ia memiliki potensi besar menjadi ikon pertunjukan Borobudur—bahkan daya tarik wisata budaya tingkat nasional.
Dengan penyempurnaan yang berkelanjutan, Badracari Mahadewa berpeluang menjadi branding seni pertunjukan Borobudur, yang bukan saja menuturkan kisah kuno, tetapi juga menyampaikan pesan abadi: bahwa jalan kebajikan, keteguhan hati, dan pembelajaran seumur hidup akan selalu menuntun manusia menuju pencerahan.
Sore itu Mahadewa memang telah turun, namun pesan yang ia bawa—cahaya di antara gulita—akan terus terngiang bahkan setelah senja perlahan tenggelam di balik bukit Menoreh.