Magelang Mnews.id – APBD Kota Magelang terakhir membiayai PPSM pada 2010, setelah itu tim profesional tak lagi mendapat asupan dari uang rakyat. Buah dari sebuah revolusi PSSI kala itu menuju sebuah kemandirian tim.
Sebelum bercerita era Divisi Utama tanpa APBD, sedikit flashback mulai naiknya grafik prestasi PPSM. Yups, sebagai tim yang mendapatkan pendanaan dari APBD Kota Magelang cerita ini diawal dari 2004 kala itu PPSM merumput di Divisi II A Zona Jawa Tengah. Berhasil menorehkan prestasi sebagai tim yang berada di urutan keempat.
Perlu diingat ya shob, prestasi yang tiba-tiba melejit meruput ke Divisi II Liga Indonesia yang sebelumnya hanya merumput di Divisi II A Zona Jawa Tengah. Ini bukan murni prestasi tim, tapi kala itu dianggap sebagai merger PPSM dengan Panca Sakti Sleman. Lebih tepatnya bukan merger sich sebenarnya, tapi membeli tim Panca Sakti Sleman yang berlaga di Divisi II Liga Indonesia, sehingga PPSM meminjam tiket Panca Sakti untuk berlaga di Divisi II.
Nama Sakti di belakang PPSM adalah sebuah kolaborasi nama Panca Sakti, sehingga nama ini akhirnya menjadi nama resmi tim yaitu PPSM Sakti yang berlaga di di Divisi II Liga Indonesia. Hibah dana APBD ke klub PPSM Sakti cukup memberikan asupan untuk membeli pemain dan menggaji manajeman, sepakbola di Kota Magelang menggeliar.
PPSM Era Jahiliyah APBD
Prestasipun melejit, pada 2007 juara empat Divisi II Liga Indonesia dan berhak promosi ke Divisi I Liga Indonesia 2008/2009. Dan pada akhirnya berhasil Promosi Ke Divisi Utama Liga Indonesia pada 2010/2011.
Penggunaan APBD untuk membiayai klub sepakbola profesional kala itu memang tak hanya terjadi di Magelang tapi seluruh daerah di Indonesia yang memiliki klub sepakbola di biayai oleh APBD. Gelombang besar revolusi sepakbola tanpa APBD di mulai, sebagian suporter dan pecinta sepakbola mengkritik langkah yang kerliru ini.
Alasan mereka cukup rasional, Pertama merugikan rakyat, karena uang APBD yang dihibahkan ke klub sepakbola nilainya cukup fantastik yakni miliaran rupiah, di sisi lain masih ada kebutuhan prioritas yakni pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat yang belum tersentuh.
Kedua hibah APBD ke klub sepakbola ditengarai adanya praktik korupsi yang akut, mulai dari mark up kontrak pemain hingga mark up akomodasi. Anehnya dari proses penggunaan uang APBD itu klub sepakbola tidak bisa mempertanggunjawabkan melalui laporan keuangan yang transparan.
Ketiga, adanya mafia pertandingan sepakbola, yakni praktik suap dan jual beli pertandingan masih kental dalam tubuh PSSI dari pusat hingga daerah. Hal ini menjadi para pejuang Revolusi Sepakbola kala itu geram.
Gelombang revolusi sepakbola Indonesia waktu itu berhasil memutus urat nadi klub sepakbola dan APBD dengan munculnya Permendagri No. 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2012.
Tim yang hebat di Super LIga Indonesia dan Divisi Utama kelimpungan dan belum siap sepenuhnya lepas dari asupan APBD. Arema Indonesia, Persija, Persib, Persipura, dan lainnya harus bersiap menjadi klub profesional. Begitu juga dengan klub Divisi Utama, seperti PPSM Sakti, PSIS Semarang, Persis Solo, Persiba Bantul dan lainnya harus berfikir keras bagaimana menyelamatkan tim tanpa APBD.
Uang untuk menghidupi tim level Divisi Utama dalam satu musim kompetisi memang tidak sedikit, setidaknya harus memiliki moda Rp 2 hingga Rp 3 Miliar, nilai ini akan naik 100 persen bahkan lebih ketika membiayai tim ISL kala itu. Nilai yang cukup fantastik bagi PPSM yang kala itu belum bisa membuat ekosistem sponsor, merchandise belum jalan. Jika hanya mengandalkan penjualan tiket pertandingan tentu hasilnya tidak seberapa berbanding dengan total kebutuhan pendanaan satu musim.
PPSM Era Pasca Revolusi
Revolusi sepakbola Indonesia itu sebenarnya ingin menggulingkan rezim PSSI yang dipegang Nurdin Halid sejak 2003. Mafia sepakbola terjadi secara terstruktur, masif dan sistematis, akibatnya prestasi sepakbola terlebih Tim Nasional semakin terpuruk.
Kepengurusan dari PSSI pusat hingga daerah Provinsi dan Kabupaten/kota diisi orang-orang yang tunduk pada Nurdin Halid. Saat itu tak ada orang yang bisa menyentuh ranah sepakbola kecuali mereka orang-orang yang berada di lingkaran kekuasan PSSI dari pusat hingga daerah. Dan hanya di Indonesia organisasi sepakbola dikendalikan orang yang breada di alam tahanan.
Anehnya, 2007 Nurdin terplih lagi menjadi menjadi Ketua Umum PSSI, dalam Konggres di Makasar. Namun sayang, AFC dan FIFA tidak mengakui terpilihnya Nurdin Halid dan persepakbolaan nasional makin runyam urusannya dan rumit.
Melihat ketidakberesan sepakbola di negeri ini jaringan suporter seluruh Indonesia bergerak. Mereka ingin melakukan revolusi sepakbola, anti mafia dan dibersihkannya pengurus PSSI dari dinasti Nurdin Halid dari pusat hingga daerah.
Puncaknya pada pada 2008, jaringan supoter bertindak melakukan demonstrasi. dimotori oleh jaringan suporter Aremania (suporter Arema), Jakmania (Persija), Benteng Viola (Persita), Pasoepati (Persis Solo), dan Slemania (PSS Sleman). Mereka melakukan unjuk rasa disejumlah tempat di Jakarta antara lain kantor PSSI, Kemenpora , dengan tuntutan turunkan Nurdin Halid dan berantas mafia bola dari PSSI.
Buah dari hasil revolusi itu antara lain, akhirnya turunnya Nurdin Halid dari ketum PSSI dan tidak digunakan APBD untuk membiayai tim profesional. Singkat cerita ya lur, bagaimana nasib PPSM Sakti paska tidak mendapatkan hibah dari APBD Kota Magelang.
Masa transisi ini cukup sulit bagi PPSM untuk bangkit berdiri dengan kaki sendiri. Di akhir musim setelah tim dibubarkan manajeman juga ikut bubat entah kemana. Wajar saja biasa dimanjakan dengan APBD tiba-tiba suruh nyari duit sendiri, bukan perkara mudah.
Bagaimana kelanjutan ulasannya bisa dinikmati pekan depan, bagaimana PPSM bisa lolos dari degradasi dan siapa yang menyelamatkan. Simak ulasan PPSM setiap akhir pekan hanya di mnews.id.(bersambung)
Kadung tresno Abot Ninggal Lungo.
#Magelangtillidie #ppsmadalahkita #ppsmselamanya