Hari kedelapan Ngaji Pasaran Ramadhan Kitab Ayyuhal Walad Imam Al-Ghazali, bersama KH Muhammad Yusuf Chudlori Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang.
Faedah kedelapan, Syeikh Hatim melihat banyak orang yang bergantung pada sesuatu yang fana seperti uang, harta benda, rumah mewah, dan pekerjaan. Lantas Syeikh Hatim teringat firman Allah :
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Wa man yatawakkal ‘ala Allahi fahuwa hasbuhu, inna Allaha baaligu amrihi, qad ja’ala Allahu li kulli sya’in qadran.
Artinya: Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (at-Thalaq ayat 3).
Di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, menurut Gus Yusuf tidak ada yang dapat dijadikan tempat bergantung kecuali pasrah terhadap Allah. Amerika dan Cina yang menjadi raksasa ekonomi dunia pun tak berdaya menangani Covid-19.
Kita seakan mendapat hikmah di tengah pandemi ini, kata Gus Yusuf. Kita mau bergantung uang, sekarang nilainya turun, bergantung dengan pekerjaan, sekarang banyak terjadi PHK, rumah mewah pun tak bisa melindungi diri dari ancaman covid-19. Sekarang tempat tawakkal (berserah diri) yang paling baik adalah kepada Allah.
Menurut Gus Yusuf, bahwa tawakkal (berserah diri) itu dilakukan setelah adanya ikhtiar (usaha). Ia mencontohkan, orang di tengah pandemi sekarang ini, bersikeras melaksanakan jama’ah mengatasnamakan tawakkal, kalaupun mati paling tidak mati saat jama’ah bukan saat ketakutan di rumah, ini merupakan pemahaman yang salah, iya kalau dia mati sendiri, kalau matinya menularkan virus pada orang lain kan malah membawa madlarat.
Tawakkal (berserah diri) di saat pandemi dilakukan setalah ikhtiar seperti menghindari kerumunan atau kontak fisik, cuci tangan, menggunakan masker.
Syaqiq kemudian berkata, “Semoga Allah berkenan memberikan pertolongan, wahai Hatim, sesungguhnya diriku telah membaca 4 kitab, yaitu Taurat, Injil, Zabur, dan Alqur’an, dan aku menemukan bahwa keempat kitab auci tersebut secara bersambung menyampaikan pesan 8 faedah ini, barangsiapa mengamalkan 8 faedah ini, maka ia mengamalkan ajaran keempat kitab suci”.
Wahai anakku, berdasarkan 2 kisah di atas kalian tahu bahwa kalian tidak mebutuhkan banyak ilmu. Sekarang aku (Imam al-Ghazali) akan menjelaskan kewajiban meniti jalan kebenaran.
Ketahuilah sudah sepatutnya bagi salik (orang yang miniti jalan kebenaran) mempunyai guru (mursyid) yang menunjukkan jalan kebenaran, yang peduli dan bisa mengeluarkan kalian dari akhlak yang jelek dengan tarbiyah (mendidik), dan menjadikan diri kalian berakhlak mulia.
Tarbiyah (mendidik) itu seperti pekerjaan petani, yaitu mencabut benalu dan membersihkan hama tanaman (menghilangkan akhlak buruk), agar tanaman yang ditanam itu bisa tumbuh baik dan hasil panennya memuaskan (mengajarkan akhlak baik).
Sesungguhnya Allah mengutus Rasulullah sebagai penuntun, lalu ketika Rasulullah meninggal dunia, Para pengganti Rasulullah akan menuntun dan meneruskan misi Rasulullah. Maka dari itu, wajib bagi salik untuk belajar dengan guru yang bisa menuntun ke jalan kebaikan.
Syarat guru yang bisa dianggap sebagai penerus misi nabi itu apa saja?
Pertama dan yang utama adalah Alim (mempunyai pengetahuan agama yang luas), tetapi tidak semua orang alim patut disebut sebagai penerus misi nabi.
Perlu ada karakteristik yang melekat pada orang alim tersebut. Karakteristik atau watak yang harus ada yaitu, tidak suka mencari dunia dan pangkat, punya guru yang sanad keilmuannya bersambung sampai Rasulullah, riyadlah-nya (latih diri) bagus seperti mengurangi makan, berkata, dan tidur, memperbanyak shalat, shadaqah, dan puasa, belajar pada guru yang bisa membuka mata hati dan bisa membentuk perilaku sabar, syukur, tawakkal, yakin, bijaksana, qana’ah, mampu menenangkan hati, punya ilmu luas, rendah hati, jujur, punya malu, menetapi janji, berhati-hati atau tidak tergesa-gesa.
Menurut Gus Yusuf, ketika semua syarat dan karakter di atas ada pada diri seseorang, maka orang itu pantas disebut sebagai ulama yang menjadi pewaris dan penerus misi para nabi.