Ramadhan 1442 H, Mnews.id menghadirkan transkip teks pengajian bersama Gus Yusuf (KH Muhammad Yusuf Chudlori Pengasuh Asrama Pendidikan Islam (API) Tegalrejo Magelang). Pengajian berlangsung online tiap hari melalui Gus Yusuf Channel mengkaji kitab Qomi’ al-Tughyan.
Cabang iman ke-59, budak yang taat kepada tuannya sesuai dengan kemampuannya selain dalam hal maksiat. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah beraabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang ikhlas terhadap tuannya dan bagus amal ibadahnya kepada Tuhan, maka ia akan mendapatkan pahala dua kali.”
Cabang iman ke-60, menjaga hak istri dan anak. Wajib bagi seorang suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya dengan cara melengkapi kebutuhan-kebutuhan yang ia perlukan sesuai dengan kemampuan yang ia milki.Oleh karena itu intensitas dari kemampuan yang dimiliki oleh seorang suami bersifat relatif (jika dibandingkan dengan orang lain), bisa saja banyak dan bisa juga sedikit,tergantung pada kesulitan dan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan tersebut.
Janganlah seorang suami tidak memberikan nafkah istrinya yang sebelumnya belum ia berikan, karena nafkah yang belum ia berikan tersebut merupakan hutang baginya. Karena bahwasanya nafkah seorang istri merupakan bekal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini berbeda dengan nafkah yang diberikan kepada kerabat yang bersifat untuk saling membantu saja.
Selain kewajiban memberikan nafkah, seorang suami juga berkewajiban untuk mendidik dan mengajarkan ilmu yang diperlukan oleh istrinya, seperti fardlu-fardlu ibadah dan sunah-sunahnya seperti; bersuci, salat, zakat, puasa, haji, hal-hal yang berhubungan dengan masalah haid (menstruasi) dengan memberitahukan bahwa ketika sedang haid tidak mengapa ia meninggalkan salat, dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan haqullah (hak-hak Allah).
Berbeda dengan Ibnu Al-Baraziy yang mengatakan bahwa hal ini hanya sebatas pada perintah yang bersangkutan dengan hak-hak diri (istri), seperti menjaga dirinya (istri) dari laki-laki lain, menutup bagian-bagian tubuh dari pandangan laki-laki lain yaitu bagian tubuh haram untuk dilihat, tidak meminta bantuan laki-laki lain di luar kebutuhan, dan menjaga diri dari memperoleh harta yang haram. Oleh karena itu diperbolehkan memberikan hukuman untuk istri jika memang ia melanggarnya.
Suami berkewajiban mengajarkan istrinya tentang kewajibannya untuk taat kepada suami selain dalam hal maksiat, dan memberitahukan tentang keharaman berbohong tentang kapan masa haidnya dan kapan berakhirnya.
Seorang ayah berkewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya apabila mereka melarat dan tidak mampu bekerja karena masih kecil, cacat, gila, atau sakit. Nafkah ini tidak ditentukan jumlahnya, tetapi sekedar cukup. Nafkah harus dibedakan antara anak-anak yang besar, kecil, kezuhudan dan kesenangan mereka.
Ayah juga wajib mengajar sopan santun anak-anaknya pada waktu masih kecil, mengajar bersuci dan salat. Ia wajib memerintah mereka untuk melakukan salat setelah tamyiz, yaitu sejak berumur 7 (tujuh) tahun. Ia wajib memukul anak-anaknya jika meninggalkan salat setelah berumur 10 (sepuluh) tahun; wajib memperingatkan mereka dari berdusta, berbuat durhaka, melakukan dosa besar, mencuri, dan larangan-larangan lainnya. Ia juga wajib memberi nama yang baik, permulaan atau perubahan nama tersebut.
Mengenai nafkah istri dan anak, Gus Yusuf menjelaskan bahwa adil tidak harus sama rata. Adil itu menyesuaikan kebutuhan subjeknya. Anak pertama yang sudah dewasa dan masuk perkuliahan misalnya pemenuhan kebutuhannya akan berbeda dengan anak kedua yang masih SMP. Bahkan pemenuhan nafkah anak juga perlu memperhatikan karakter anak, zuhudnya anak (boros apa tidak).