Ramadhan 1442 H, Mnews.id menghadirkan transkip teks pengajian bersama Gus Yusuf (KH Muhammad Yusuf Chudlori Pengasuh Asrama Pendidikan Islam (API) Tegalrejo Magelang). Pengajian berlangsung online tiap hari melalui Gus Yusuf Channel mengkaji kitab Qomi’ al-Tughyan.
Cabang iman ke-66, menjauhi setiap orang yang berbuat kerusakan. Orang yang berbuat kerusakan ialah orang kafir, orang yang berbuat bid’ah, orang yang melakukan dosa besar, orang yang melarikan diri dari fitnah yang akan menimpa agama, dan yang enggan berhijrah dari daerah orang kafir ke daerah orang Islam.
Seseorang yang tidak mampu menampakkan agamanya di daerahnya sendiri karena difitnah wajib pindah ke daerah lain yang mampu menampakkan agamanya. Jika seseorang mampu menampakkan agamanya, maka lebih utama tidak berhijrah.
Adapun orang yang memiliki kekuatan di daerahnya sendiri atau dapat mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan bila berpindah daerahnya akan menjadi kekuasaan musuh, maka ia wajib menetap di daerahnya, sebagaimana keterangan dari Imam Ramli dalam kitab “Umdat ar-Rabih”.
Imam Ibnu Imad berpendapat bahwa seseorang tidak pantas tinggal bersama dengan orang yang rusak agamanya. Bila ia selamat dan tidak mengikuti perbuatannya yang dosa, maka ia akan ter-pengaruh sebagian dari akhlaknya karena tabiat akan menyusup dengan cara yang tidak disadari oleh seseorang.
Dalam surat al-Isra ayat 84 Allah berfirman yang artinya, “Katakan: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing…” Artinya, bahwa setiap orang akan berbuat menurut cara yang telah digambarkan dan menurut pergaulannya.”
Kata penyair, “Janganlah kamu tanyakan kelakuan seseorang; tanyakanlah tentang temannya. Karena setiap teman itu akan mengikuti kelakuan orang yang ditemani.” Pengertian dari syair tersebut adalah jika engkau ingin mengetahui kelakuan seseorang, janganlah engkau tanyakan kepadanya, tetapi perhatikanlah siapa orang yang dipergauli. Orang tersebut akan berbuat dengan cara yang dilakukan oleh orang yang ditemani.
Gus Yusuf menjelaskan, dianjurkan hijrah (berpindah) dari lingkungan tempat tinggal yang melarang seseorang melakukan 5 rukun Islam yang menjad pokok syariat.
Di Indonesia dicontohkan Gus Yusuf merupakan negara yang menjamin setiap warganya melakukan ibadah sesuai tuntunan agamanya. Jadi menurut Gus Yusuf, darul Islam (negara Islam) bukanlah pada bendera dan slogan, tetapi selagi negara tersebut menjamin hak seseorang menjalankan syariat agama yang pokok maka tidak menjadi persoalan, karena Indonesia meskipun bukan negara Islam tetapi darussalam (negara damai) yang menjamin warganya dalam beribadah.
Artinya negara hadir dalam memudahkan warganya beribadah, misal warga ingin menikah secara hukum Islam, ada Kantor Urusan Agama (KUA), ingin zakat negara memfasilitasi dengan mendirikan Badan Zakat Nasional (BASNAS), ingin berhaji, negara melalui Kementerian Agama setiap tahun hadir sebagai penyelenggara haji.
Cabang iman ke-67, memuliakan tetangga. Memuliakan tetangga maksudnya adalah berbuat baik kepada tetangga dengan jalan: menampak-kan wajah yang cerah dan berseri-seri, memberi makanan kepadanya. Jika tidak mampu berbuat demikian, hendaklah menahan diri untuk tidak menyakiti tetangga.
Rasulullah bersabda, “Berbuat baiklah dalam mempergauli orang yang menjadi tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang muslim.” Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia memuliakan tetangganya.”
Dalam hadits yang lain disebutkan, “Barang siapa yang ingin dicintai oleh Allah ia wajib berkata benar, menunaikan amanat, dan tidak menyakiti tetangganya.” Menurut Imam as-Suhaymi, kriteria tetangga ialah orang yang jarak antara rumah Anda dengan rumahnya kurang dari 40 rumah dari berbagai arah.
Cabang iman ke-68, memuliakan tamu. Memuliakan tamu artinya berbuat baik dalam menyambut tamu yang datang dengan muka berseri-seri dan ucapan yang bagus, cepat-cepat memberi jamuan yang ada dan melayaninya sendiri, sebagaimana Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz melayani tamu dengan pribadi beliau sendiri. Kewajiban memberi makan tamu adalah selama tiga hari menurut kadar kemampuannya.
Seyogyanya seseorang tidak perlu memaksakan diri untuk memberi jamuan kepada tamu dengan mengusahakan sesuatu yang tidak dimiliki. Ia cukup menjamu tamu dengan sesuatu yang sudah ada dengan ukuran kemampuannya, tidak perlu dengan upaya meminjam kepada orang lain atau membeli makanan dengan berhutang, berdasarkan sabda Nabi Muhammad, “Saya dan umatku yang bertakwa adalah orang-orang yang membebaskan diri dari memaksakan diri.”
Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu sekalian memaksakan diri untuk menyuguh tamu, sehingga kamu benci kedatangan tamu. Karena sesungguhnya barang siapa yang membenci tamu, maka ia telah membenci Allah. Dan barang siapa yang membenci Allah, niscaya Allah akan membenci dia.
Sahabat Salman al-Farisi berkata bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan kepadanya untuk tidak memaksakan diri dalam memberi jamuan kepada tamu dengan sesuatu yang tidak dimiliki, memberikan suguhan kepada tamu dengan sesuatu yang sudah ada padanya, tidak boleh membedakan antara tamu kaya atau fakir dalam memberikan suguhan; karena tamu yang masuk ke dalam rumah adalah membawa rahmat dan keluar bersama dosa pemilik rumah.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah bersabda, “Seseorang beriman yang kedatangan tamu kemudian memandang muka tamu tersebut dengan wajah berseriseri, niscaya diharamkan jasadnya masuk neraka oleh Allah.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Darda’ dari Nabi Muhammad, beliau bersabda, “Apabila salah seorang dari kamu sekalian makan bersama tamu, hendaklah dia menyuapi tamu dengan tangannya. Apabila ia melakukan demikian, maka Allah mencatat baginya amal satu tahun, yang dilakukan puasa siang harinya dan salat pada malam harinya.”