Reporter : Abdul Hakim
Editor : Zahid
Masyarakat sekitar menyebutnya makam Sunan Kalijaga Moroteko atau dikenal Raden Sahid Moroteko. Sebagian masyarakat juga ada yang menamakan makam Ploso Medalem. Tempat tersebut diyakini sebagai makam Kanjeng Sunan Kalijaga yang ada di Tuban.
Makam Kanjeng Sunan Kalijaga terletak di Dusun Soko, Desa Medalem, Senori. Dari pusat kota Tuban menuju lokasi makam, diperkirakan sekitar kurang lebih 65 km. Menuju lokasi Kanjeng Sunan Kalijaga Ploso Medalem klik ini >> <Makam Kanjeng Sunan Kalijaga Ploso Medalem Peta Google Map>
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempopulerkan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga kepada khalayak. Semenjak itu makam Kanjeng Sunan Kalijaga di Ploso Medalem ramai peziarah dari berbagai kota di nusantara. Keberadaan makam ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan biasa di ziarahi oleh penduduk setempat.
Reporter Mnews.id Zahid dan Hakim melakukan investigasi ke lokasi menemui Juru kunci makam Kanjeng Sunan Kaliaga Ploso Medalem. Seperti apa kondisi makam dan lokasi yang dipercaya sebagian warga adalah makam Waliyullah Kanjeng Sunan Kaliaga.
Juru Kunci Makam Kanjeng Sunan Kalijaga, Ali Imron menceritakan, sebelum dibuka dan diresmikan oleh Gus Dur pada 1999 lalu. Keberadaan makam tersebut sudah ditemukan oleh seorang warga setempat yang bernama Mulyadi.
Dia menceritakan Mulyadi boleh dibilang termasuk orang kaya di Desa Medalem. Namun suatu hari hartanya semakin habis, lalu membuat rumah di tengah area ladang atau tegalan. Disitu ia hidup sendirian dan tidak punya tetangga. Dari situlah tiap malam antara sekitar jam 21.00 hingga 23.00, Mulyadi sering didatangi seseorang yang berpakaian serba hitam.
“Orang berpakaian serba hitam itu mendatangi paman saya Mulyadi. Pada suatu malam orang misterius itu berpesan agar merawat makam yang masih rungget (tak terawat banyak semak, red). Keesokan harinya kemudian paman saya mencari makam itu dan ternyata benar ada makam,”kata Imron.
Mendapati sebuah fenomena ini Mulyadi gelisah kemudian sowan atau menghadap Kiyai Zubaidi (ayah Gus Mad Tuban). Namun oleh Kiyai Zubaidi diajak sowa kepada K.H. Hamid Pasuruan. Semua apa yang dialami Mulyadi di ceritakan kepada Kiyai Zubaidi,
Sebuah jawaban yang diluar dugaan Mulyadi, ternyata Kiyai Hamid juga pernah ziarah di makam tersebut. Bahkan beliau tahu siapa yang dimakamkan di tempat itu, yaitu bernama Raden Sahid Moro Teko. Setelah ditanyakan kejelasan makam tersebut, seminggu kemudian Kiyai Zubaedi bersama warga setempat mulai membukanya.
“Tapi dulu kondisinya belum secerah ini, keadaannya masih banyak semaknya. Jadi kelihatan angker. Selain itu, pemerintah dulu kan sempat melarang untuk menziarahi,”ujarnya.
Gus Dur Mendapat Firasat
Masih cerita Imron, saat Gus Dur menjadi presiden, tepatnya pada 1999, makam tersebut baru dibuka dan direnovasi sedikit demi sedikit. Bahan Presiden RI keempat ini memberikan sebuah titik terang bahwa makam tersebut adalah makam Kanjeng Sunan Kalijaga.
Sebelumnya Gus Dur berziarah ke makam Sunan Kalijaga Kadilangu, Demak. Dalam pengalaman batin Gus Dur, akhirnya mendapat firasat untuk ziarah ke makam Kanjeng Sunan Kalijaga yang ada di Medalem, Ploso Tuban.
Dengan melalui Riyadh Tsauri yang biasa dipanggil Gus Aya, selanjutnya mencari keberadaan makam tersebut. Informasi yang diterima ternyata benar terdapat makam Sunan Kalijaga yang letaknya di Dusun Soko, Desa Medalem, Kecamatan Senori. Sehingga Gus Dur datang dan berziarah ke makam tersebut.
Tepatnya pada 17 Ramadhan persisnya tahun 1999. Pada saat itu, makam sudah mulai dibuka. “Kalau menurut penuturan Gus Dur, yang di Kadilangu itu kantornya, akan tetapi di sini makamnya. Tapi semua itu Wallahu a’lam,” papar Imron.
Setelah ditetapkan acara haulnya, selanjutnya di tahun 2000 masehi dibentuk juru kunci oleh pihak desa dan kecamatan setempat. Dalam musyawarah tersebut, lalu ditetapkan sebanyak 5 juri kunci. Di antaranya, Mbah Sangep, Khoribun, Mbah Modin Wanijo, Dimiyati, dan Ali Imron. Di saat itu pula, sekitar makam mulai dibangun dan renovasi.
“Akan tetapi kelima juru kunci tersebut empat sudah meninggal, ya tinggal saya juru kuncinya ini,” katanya.
Semilir Dinaungi Ploso Songo
Bentang alam persawahan mengelilingi Makam Kanjeng Sunan Kalijaga Dusun Soko, Medalem, Senori, Tuban. Sepoi angin sawah semilir membuat nyaman siapa saja yang datang ke sini. Ada tumbuhan khas yang rimbun di sini yaitu pohon Ploso. Sehingga komplek pemakaman ini disebut Makam Ploso.
Sedikit uraian tentang Pohon Ploso, Dalam buku “Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan”, tahun 2017, pada halaman 333, karya Iman Budhi Santosa, dijelaskan, pohon Ploso, atau plasa, atau palasa (Bute Monosperma) sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak masa lalu, khususnya mereka yang tinggal di perdesaan atau dekat hutan.
Karena pohon ini banyak tumbuh secara alami di padang rumput terbuka dan hutan-hutan campuran di bagian timur pulau Jawa hingga ketinggian 1.500 m dpl. Batang, pohon plasa relatif kecil, sering bengkok, dan tingginya hanya 5-12 m.
Di musim kemarau pohon plasa mengalami gugur dan seperti pohon jati. Bunga plasa terhitung indah dan menghasilkan bahan pewarna yang disebut butein. dahulu sering dipakai untuk mewarna sutera dan kain baju. Pohon plasa menghasilkan getah namanya gom yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna, bahan penyamak, serta pengobatan tradisional, misalnya untuk mengobati diare.
Sedangkan minyak biji plasa dimanfaatkan sebagai obat cacingan. Daun mudanya setelah ditumbuk dapat digunakan untuk mengatasi sengatan kalajengking, Bunganya dipakai untuk mengatasi gangguan pada hati.
Di kompleks makam di Jawa bagian timur biasanya juga banyak ditemukan Pohon Ploso. Bahkan untuk kebutuhan kuliner daun ini untuk membungkus tapi ketan. Biasanya tape ketan bungkus daun ploso digunakan untuk hajatan matenan, sunatan, merti deso.
Panorama persawahan dan pepohonan ploso menjadikan suasana nyaman untuk peziarah. Salah satunya dirasakan peziarah, Rudi (25) dari Kalitidu, Bojonegoro. Menurutnya, berada di pesarena makam ini sangat nyaman dan semilir. Sehingga cocok berdoa meditasi tadabbur alam.
Panorama Ploso Songo yang tumbuh di kompleks makam sunan Kali Jaga, memayungi beberapa makam aulia lainnya. Makam auliya lain yang berada dalam satu kompleks dengan makam sunan Kali Jaga yaitu makam Syekh Badawi (Solo), makam Abdurrahman (Janjang, Blora), Makam Dewi Amiroh (Istri Sunan Kalijaga), makam Abdul Aziz Abdul Basith (saudara Mbah Jabbar, Nglirip, Singgahan), Mpu Supo (adik sunan Kalijaga), Patih Wono Salam dan Abdul Qodir (putra Raden Patah), Raden Semangun (senopati Banyuwangi), dan satu makam yang terletak 1 Km dari makam Sunan Kalijaga yaitu makam Roso Wulan atau dikenal dengan nama Nyai Dembogo (adik sunan Kalijaga).
Keunikan Makam Persegi Delapan
Keberadaan pohon Ploso yang memayungi pesarean dan musala, ternyata memiliki cerita lain. Cerita tersebut merupakan simbol nama makam itu sendiri. Sembilan pohon ploso dimaknai sebagai jumlah wali sanga.
“Ada juga yang memaknai sebagai simbol Rasulullah, empat sahabat rasul, dan empat madzab. Ada beberapa tafsiran dari mulut ke mulut mengenai pohon ploso di makam ini,” jelas Imron yang juga pengajar di salah satu MI di Desa Medalem.
Imron Menceritakan jauh sebelum makam ditemukan, pohon ploso sudah ada. Sekarang pohon itu tinggal 7 batang, karena yang berada di sebelah selatan pesarean Dewi Amiroh dan sebelah makam syeh Abdurrahman, tumbang.
Makam yang dulunya dipercayai sebagai rumah Sunan Kali Jaga, memang belum ditemukan bukti peninggalan-peninggalan yang berarti, kecuali cincin dan tasbih. Akan tetapi, peninggalan tersebut juga tidak ada artinya lagi, karena sudah raib.
Namun demikian, pesarean yang berada di bawah pohon ploso, nampak berbeda dari pesarean-pesarean makam lainnya. Makam tersebut berbentuk segi delapan dengan empat saka guru. Bentuk bangun tersebut berawal, ketika membuat cungkup tidak lagi mencukupi panjang makam.
Setiap cungkup diperluas dan ukuran sudah sama dengan ukuran panjang makam, tetap saja cungkup tersebut tidak mencukupi panjang makam. “Hari ini diukur, besuk didirikan, cungkup masih saja kurang luas. Hal itu, berulang-ulang,” ungkap Imron.
Dari kejadian itu, warga lantas berinsiatif untuk tetap mendirikan cungkup tersebut dengan membuat sudut baru pada sisi-sisi luar cungkup. Akhirnya, terbentuklah cungkup segi delapan dengan pintu yang menyudut. “Seperti itulah bentuknya, mirip pagoda di Semarang,” ungkap Imron.
Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan peziarah, di area kompleks makam dihadirkan pula gentong tempat wudu dan minum. Selain itu, terdapat ruang kantor untuk juru kunci. Sedangkan untuk menambah kekhusyukan peziarah, dibangun sebuah musala yang nyaman untuk para peziarah. Di samping itu, acara istigosah selapanan, rutin diadakan warga sekitar. Acara tersebut dilaksanakan setiap kamis kliwon malam jumat legi.