Magelang Mnews.id – Selapanan Ahad Wage Mendpo Institute di Kompleks Pondok Pesantren Ushuluddin, Ngadirejo, Salaman, Magelang mengangatka tema ”Pancering Jati”, Sabtu (22/2).
Pancering jati yang berarti pusat kesejatian diri di era kekinian atau peradaban era Revolusi 4.0. Mendopo Institute sendiri merupakan semacam laboratorium kecil untuk berproses dalam pendewasaan pola pikir yang dikelola Gus Ausof purtra dari KH Muhammad Manshur Chadzik.

Dalam Selapanan itu tampil sebagai pembicara, shohibul bait Gus Manshur, kemudian Gus Asbid, Habib Zein Aidit, Dr. Muhhamad Fatkan, S.Ag, M.Hum. Sedangkan musik pengiringnya adalah Musik Etnik Jodokemil dipandegani oleh Arif Sigit dan kawan-kawan.
Pada Selapanan ke-15 ini diambil tema pancering jati bertujuan untuk menentukan arah “Aku meh ngopo, aku melu sopo, dan aku meh nang endi”. Hal tersebut dilatarbelakangi karena kebanyakan masyarakat di zaman ini kehilangan arah atau titik koordinat diri. Masyarakat sangat mudah terbawa arus mayoritas dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga pijakannya tidak jelas.
Gus Ausof mengatakan, sekarang ini banyak masyarakat yang galau dan terkadang sanad keilmuannya gak jelas. Fenomena ini menjadikan masyarakat yang tak memiliki pijakan dalam hidup, hanya hanya asal mengikuti arus mayoritas saja namun tidak paham dengan apa yang diikuti.
Karena itu Pancering Jati dalam tema ini, lanjut dia, sebagai refleksi bersama untuk mencari titik koordinat diri agar masyarakat tidak mudah terbawa arus. Apalagi di zaman digital ini banyak informasi yang mudah tersebar, namun kebanyakan masyarakat belum bisa membedakan mana informasi yang hoax dan nyata.
Terkait dengan revolusi industri 4.0, Muhammad Fatkan menyampaikan bahwa kita harus memahami sejarah, misalnya sejarah budaya Jawa seperti Walisongo. Dengan memahami sejarah kita tidak akan mudah untuk kehilangan jati diri.
Habib Zein menjelaskan dari prespektif tasawuf atau jalan kerohanian, bahwa segala sesuatu itu memiliki tiga tahapan, yaitu wujud dalam realitas, wujud dalam lisan, dan wujud dalam pikiran (ilmu). Sementara itu tidak semua pertanyaan bisa dijawab oleh bahasa.
“Bahasa itu sumber masalah, karena bahasa itu terbatas, sementara bahasa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang tak terbatas.” Imbuhnya.
Habib Zein juga menambahkan bahwa manusia itu harus bisa mengenali diri sendiri, namun manusia sering lupa untuk memahami dirinya. Sementara itu pengetahuan yang kita miliki menentukan apa yang akan kita lakukan.
“Koe nek mikir Akhirat donyane katut, nek mikir donyo akhirate mawut” pesan dari Habib Zein.