“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor, tapi suatu saat di mana kita tidak bisa menghindari diri lagi, maka terjunlah” Soe Hok Gie.
Bagi sebagian kalangan muda atau milenial mungkin kalimat Gie di atas mewakili pandangan mereka. Setidaknya saya sendiri meyakini kalimat di atas sampai pada tahun 2019 yang lalu, saat saya pertama kali menggunakan hak suara saya, karena di tahun pemilhan pertama saya mendapat hak suara, saya lebih memilih untuk golput (tidak menggunakan hak suara).
Alasan kenapa golput di tahun pertama saya mendapat hak suara cukup sederhana, saya yang saat itu berstatus mahasiswa merasa calon yang bertarung di kontestasi pilpres tidak akan berpengaruh banyak terhadap kehidupan saya sehari-hari. Sikap yang awalnya apolitis ini perlahan berubah seiring saya mengikuti informasi poltik menjelang gelaran pemilihan umum 2019. Tentunya butuh tenaga ekstra dalam menyaring informasi tersebut, karena kita semua paham bahwa pemilu 2019 yang lalu dijejali beberapa hoax dan bias informasi.
Ada secercah harapan bagi demokrasi Indonesia di era keterbukaan informasi ini. Kita sebagai warga dapat memberikan kritik dan saran pada calon pemimpin via media sosial. Saya yang berlatar belakang Muslim mulai membaca referansi mengenai pentingnya partisipasi politik untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu yang mengubah sikap dan pandangan awal saya terhadap politik adalah kaidah fikih siyasah (politik) yang menyatakan bahwa “kebijakan pemimpin yang berorientasi terhadap masyarakat harus mempunyai tujuan kemaslahatan” ( تصرف الإمام على رعية منوط بالمصلحة).
Lantas kalau kita merasa bahwa calon yang berkontestasi kurang mewakili aspirasi kita, haruskah kita golput? Balik lagi pada kaidah fikih bahwa suatu hal yang tidak dapat didapatkan semuanya jangan ditingalkan seluruhnya. Artinya kita sebagai warga negara yang baik perlu memilih pemimpin yang potensi madlaratnya lebih sedikit.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya mengajak generasi muda untuk tidak bersikap apolitis (tak acuh terhadap politik), karena kalau kita merasa bahwa politik dan pemerintahan bukanlah suatu yang baik, maka satu hak suara kita dapat mendorong calon pemimpin yang baik atau paling tidak potensi madlaratnya terhadap masyarakat lebih sedikit dibanding calon yang lain. Mari kita pergunakan hak suara kita di setiap pemilihan, karena politik adalah keniscayaan. You’ll never walk alone, guys!
Mantab bung